Selasa, 07 Desember 2010

Mencontek itu Budaya anak Sekolah

Alasan Menyontek
Beberapa kali saya wawancara informal alias ngobrol dengan beberapa siswa. Tentu pertanyaan yang saya lontarkan adalah tentang ritual contek-mencontek. Siapa, apakah, sampai bagaimana. Alasan utama mengapa siswa mencontek kebanyakan adalah karena tidak siap mengikuti ulangan atau ujian. Pertanyaan menggelitik terus saya lontarkan. Mengapa tidak siap? Jawabnya karena tidak belajar. Mengapa tidak belajar? Ini yang harus diselidiki.
Penyakit yang melanda siswa sekarang banyak sekali. Tapi bila disederhanakan dan dikumpulkan jadi satu, intinya cuma satu hal. Wasting Time! Alias tidak bisa mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Jadi hanya mengalir tak jelas juntrungannya. Tahu-tahu ujian tinggal 24 jam lagi, thoenk!
Alasan kedua (sebenarnya bukan alasan) adalah menyepelekan hari-H itu sendiri. Macam-macam bentuknya. Ada yang karena saking kayanya, sehingga nilai (menurut dia) bisa dibeli, dirayu, dilobi dan sejenisnya. Benar-benar pakai jalan pintas!
Alasan ketiga, mungkin memang sudah tabiatnya menyontek. Jadi, gatal rasanya kalau tidak menyontek. Alasan yang seperti ini biasanya melanda siswa yang kurang pede dengan jawabannya sendiri. Meskipun sudah menjawab, tapi karena gatal pengen nyontek dan karena kurang pede dengan jawabannya sendiri, alhasil diadakanlah acara "studi banding" jawabannya dengan jawaban temannya.

Teknik Menyontek
Saya amati selama ini, ada beberapa teknik menyontek yang dilakukan oleh siswa, terutama saat ujian berlangsung. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
1. Buat catatan kecil terselip di baju, alat tulis atau meja
Membuat catatan kecil sehari sebelum ujian sebenarnya sah-sah saja bila fungsinya untuk mengingat kembali pelajaran yang telah diterima siswa. Yang jadi masalah adalah saat right thing in wrong place. Tapi bila catatan kecil masuk ruang ujian, itu yang nggak beres.
2. Mencatat di tangan dan kaki
Ekstrim memang. Tapi siswa yang dah nekat ya seperti ini. Seluruh tubuh di"Tato" dengan rumus-rumus.
3. Isyarat tertentu
Di saat mengerjakan ujian, ulangan maupun tes, terkadang saya melihat adanya "ilegal movement". Bukannya menulis atau membaca soal, melainkan berkomat-kamit dengan mata melirik ke tempat lain. Tidak ketinggalan jari-jemari ikut menyumbang "adegan panas" ini. Tentu isyarat ini harus ada kesepakatan antar siswa. Sehingga bila seorang siswa memberikan kode, siswa lain sudah paham.
4. Membuat pengalih perhatian
Ini yang paling tidak saya senangi. Bukan karena saya jadi repot mengawasi ujian, melainkan saya merasa kasihan dengan siswa yang benar-benar serius belajar dan ujian, terpaksa terganggu oleh ulah oknum tidak bertanggung jawab yang menciptakan suasana gaduh. Banyak bentuknya, mulai dari batuk-batuk yang dibuat-buat, bersin yang di-amplify (saya tidak tahu istilah indonesianya), dan sebagainya. Intinya, membuat guru pengawas memperhatikan sumber gaduh kemudian kesempatan siswa lain yang di belakang guru pengawas untuk menyontek. Bila dalam kelas ujian ada suara gaduh, saya cenderung tidak tertarik memperhatikan si provokator, tapi menyapu pandangan ke arah yang berlawanan sambil memberikan kata-kata peringatan ke sumber gaduh. Alternatif lain, mendatangi sumber gaduh dengan cara membelakanginya sambil tetap melihat sektor lain (seperti perang saja!).

Bahaya menyontek
Sadar atau tidak, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, menyontek dapat mendatangkan bahaya baik jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi penyontek, yang dicontek maupun institusi itu sendiri.
Bahaya jangka pendek
Siswa menjadi tidak pede dengan jawabannya. Padahal barangkali jawabannya lebih benar daripada milik temannya. Menyontek juga membahayakan diri sendiri karena bila ketahuan guru, bisa dipastikan nilai 0. Bagi yang dicontek, tidak menyesalkah bila yang menyontek mendapat hasil ujian yang lebih tinggi daripada anda yang dicontek? Artinya, kerjasama saat di 'medan perang' ujian adalah kesia-siaan, karena teman anda hanya memanfaatkan diri anda, dan anda tidak sadar telah dimanfaatkan. Hal ini sering terjadi. Yang namanya kompetisi, maka setiap peserta harus bersaing, bukannya malah bekerja sama. Karena yang namanya juara itu hanya dimiliki oleh satu orang, bukan tim / kolektif.

Bahaya jangka panjang
First, we make habbit, then habbit make you. Kata bijak itu tepat menggambarkan fenomena menyontek ini. Bila seorang siswa terbiasa menyontek, maka kebiasaan itulah yang akan membentuk diri. Beberapa karakter yang dapat 'dihasilkan' dari kegiatan menyontek antara lain: mengambil milik orang lain tanpa ijin, menyepelekan, senang jalan pintas dan malas berusaha keras, dan ke-halal-an pekerjaan dipertanyakan. Bisa dipastikan, saat siswa sudah dewasa dan hidup sendiri, tabiat-tabiat hasil perilaku menyontek mulai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mencuri, korupsi, manajemen buruk, pemalas tapi ingin jabatan dan pedapatan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar